Sunday, May 15, 2016

CONTOH BEDAH KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN

Lagi, Konsumen Menggugat Keterlambatan Pesawat

Penggugat juga meminta klausul pengalihan tanggung jawab dibatalkan



Jika selama ini calon penumpang hanya menyampaikan uneg-unegnya lewat surat pembaca, kini satu persatu mulai melayangkan gugatan ke pengadilan. Sebagian besar timbul karena calon penumpang merasa diperlakukan tidak baik ketika pesawat delay, yang menyebabkan calon penumpang terlambat sampai ke tujuan.  

Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion karena penerbangan molor 3,5 jam. Kini, maskapai penerbangan itu kembali menuai gugatan. Kali ini, yang mengugat juga seorang advokat bernama David ML Tobing. David, lawyer yang tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen,  memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit.

Cerita versi David, pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya, pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. David mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.

Padahal mengaku harus segera berangkat pagi itu juga untuk suatu urusan. Lantaran kepastian dari Wings Air tidak jelas, David memutuskan untuk membeli tiket maskapai lain. Tiket Garuda untuk keberangkatan pukul 10.00 WIN masih tersedia. Walhasil, ia berangkat dengan Garuda dan sampai di tujuan.

David menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara. Itu sebabnya, 13 September lalu, ia mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam petitumnya, David meminta maskapai itu membayar ganti rugi.

Analisa :
Dalam kasus ini, meminta ganti rugi kepada perusahaan penerbangan tidak semudah membalik telapak tangan. Selain adanya klausul baku pengalihan tanggung jawab, ada juga batas maksimal tuntutan ganti rugi yang diizinkan peraturan perundang-undangan. Jumlah  maksimal ganti rugi yang bisa dituntut calon penumpang atas keterlambatan pesawat hanya satu juta rupiah. Aturan itu disebutkan pada pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Itu pun hanya untuk kerugian yang nyata-nyata dialami calon penumpang, plus kerugian disebabkan pengangkut.

Sampai di sini, gugatan David masih sejalan. Dalam gugatannya, David meminta ganti rugi Rp718.500. Angka itu berasal dari uang untuk beli tiket Garuda senilai Rp688.500 dan airport tax sebesar Rp30.000. Nilai gugatan saya masih di bawah angka satu juta, tandas David.

Yang bakal menjadi perdebatan adalah sejauh mana tanggung jawab pengangkut atas keterlambatan keberangkatan. Sudah menjadi pengetahuan umum, maskapai penerbangan mengenal klausul baku. Lion Air juga mengenal klausul semacam itu. Pada salah satu tiket Lion Air yang diperoleh hukumonline tertera klausul begini: Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala keterlambatan datang penumpang dan/atau keterlambatan penyerahan bagasi.

Itu sebabnya, selain meminta ganti rugi, David juga meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan. Dengan masih mencantumkan klausula baku pengalihan tanggung jawab yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lion juga dianggap melakukan perbuatan melawan hukum.

Sebagaimana tertera pada tiket, Lion merupakan salah satu maskapai yang menyatakan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang diderita akibat kelambatan pesawat, bagasi, dan kelambatan datangnya penumpang. Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau kelambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi.

Klausul baku tersebut menurut David bertentangan dengan Pasal 18 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal ini melarang pelaku usaha mengalihkan tanggungjawabnya lewat pencantuman klausula baku. Pencantuman klausula baku jenis ini, batal demi hukum.

sumber 
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17594/lagi-konsumen-menggugat-keterlambatan-pesawat

No comments:

Post a Comment