Lagi, Konsumen Menggugat Keterlambatan Pesawat
Penggugat juga meminta klausul pengalihan tanggung jawab dibatalkan
Jika
selama ini calon penumpang hanya menyampaikan uneg-unegnya lewat surat
pembaca, kini satu persatu mulai melayangkan gugatan ke pengadilan.
Sebagian besar timbul karena calon penumpang merasa diperlakukan tidak
baik ketika pesawat delay, yang menyebabkan calon penumpang terlambat sampai ke tujuan.
Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion karena penerbangan molor 3,5 jam.
Kini, maskapai penerbangan itu kembali menuai gugatan. Kali ini, yang
mengugat juga seorang advokat bernama David ML Tobing. David, lawyer yang tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen, memutuskan
untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang
seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit.
Cerita
versi David, pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke
Surabaya, pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga
batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung
berangkat. David mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang
mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari
jadwal.
Padahal
mengaku harus segera berangkat pagi itu juga untuk suatu urusan.
Lantaran kepastian dari Wings Air tidak jelas, David memutuskan untuk
membeli tiket maskapai lain. Tiket Garuda untuk keberangkatan pukul
10.00 WIN masih tersedia. Walhasil, ia berangkat dengan Garuda dan
sampai di tujuan.
David
menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan
keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi
petugas maskapai itu di bandara. Itu sebabnya, 13 September lalu, ia
mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam
petitumnya, David meminta maskapai itu membayar ganti rugi.
Analisa :
Dalam kasus ini,
meminta ganti rugi kepada perusahaan penerbangan tidak semudah membalik
telapak tangan. Selain adanya klausul baku pengalihan tanggung jawab,
ada juga batas maksimal tuntutan ganti rugi yang diizinkan peraturan
perundang-undangan. Jumlah maksimal
ganti rugi yang bisa dituntut calon penumpang atas keterlambatan
pesawat hanya satu juta rupiah. Aturan itu disebutkan pada pasal
42 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Itu
pun hanya untuk kerugian yang nyata-nyata dialami calon penumpang, plus
kerugian disebabkan pengangkut.
Sampai
di sini, gugatan David masih sejalan. Dalam gugatannya, David meminta
ganti rugi Rp718.500. Angka itu berasal dari uang untuk beli tiket
Garuda senilai Rp688.500 dan airport tax sebesar Rp30.000. Nilai gugatan saya masih di bawah angka satu juta, tandas David.
Yang
bakal menjadi perdebatan adalah sejauh mana tanggung jawab pengangkut
atas keterlambatan keberangkatan. Sudah menjadi pengetahuan umum,
maskapai penerbangan mengenal klausul baku. Lion Air juga mengenal
klausul semacam itu. Pada salah satu tiket Lion Air yang diperoleh hukumonline tertera klausul begini: Pengangkut
tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun yang ditimbulkan oleh
pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala
keterlambatan datang penumpang dan/atau keterlambatan penyerahan bagasi.
Itu
sebabnya, selain meminta ganti rugi, David juga meminta pengadilan
untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab
maskapai atas keterlambatan. Dengan masih mencantumkan klausula baku
pengalihan tanggung jawab yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lion juga dianggap melakukan
perbuatan melawan hukum.
Sebagaimana
tertera pada tiket, Lion merupakan salah satu maskapai yang menyatakan
tidak bertanggungjawab atas kerugian yang diderita akibat kelambatan
pesawat, bagasi, dan kelambatan datangnya penumpang. Pengangkut tidak
bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh
pembatalan dan/atau kelambatan pengangkutan ini, termasuk segala
kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi.
Klausul
baku tersebut menurut David bertentangan dengan Pasal 18 huruf a
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal
ini melarang pelaku usaha mengalihkan tanggungjawabnya lewat
pencantuman klausula baku. Pencantuman klausula baku jenis ini, batal
demi hukum.
sumber
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17594/lagi-konsumen-menggugat-keterlambatan-pesawat
No comments:
Post a Comment